PELAWAT MAYA

Monday, September 27, 2010

NAMAKU TSUNAMI

NAMAKU TSUNAMI
Puisi Arisel Ba

Namaku Tsunami tumbuh dari lubuk lautan lalu menyihir ombak gergasi menyaingi lembah dan gunung dan mengampuh daratan pinggir laut dan pulau-pulau, manusia, tua, dewasa, muda, remaja, anak kecil pun tenggelam bersama sampah sarap, bangunan, kereta, rumah, segala bot dan perahu dan ajal maut lebih hamis dari ikan, sotong, udang, penyu lalu memasuki nurani puisiku, kemudian merobek dan merobohkan nurani duka bumi bertaburan mayat dan bangkai membusuk.

Namaku Tsunami telah bangkit dari lena yang panjang dari lubuk lautan membawa ajal maut lalu terkesiap bumi di Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Malaysia dan Maldives yang berpunca dari Aceh, nurani puisiku pintar membidik apa saja, siapa saja terlontar, terlantun bagai satu kepalan pembunuh.

Dipinggir pantai enam negara, jangan persoalkan warna pakaian masing-masing, jangan persoalkan kepercayaan masing-masing, apakah mereka ahli masjid atau gereja, apakah mereka pemuja berhala di kuil atau to’kong, atheis berakal bebas penyanjung dewa atau Allah Yang Maha Esa, mereka tentunya tidak sempat bertanya apakah yang sedang bertempur meledakkan gempa mewujud gelombang Tsunami di mana kehidupan sedang terancam, apakah nanti setiakawan bangsa melebur dan hancur.

Namaku Tsunami telah bangun dari lena yang panjang dari lubuk lautan dan mengamuk bagai raksasa ganas di mana apa yang menghadang akan dilandanya, manusia yang terpinga-pinga dan hairan cuba menghadang terus tewas dan jasad berkubur di air laut asin yang panas, lalu apakah nurani mereka pasrah atas takdir dari Allah, tanda-tanda kiamat sudah berada di depan mata, sekadar doa dan pasrah.

26 Disember 2004
Taman Tun Perak, Cheras,
Kuala Lumpur

BERCERITA ANAK TIRAM DAN MUTIARA

BERCERITA ANAK TIRAM DAN MUTIARA
Puisi Arisel Ba

Anak tiram mengeluh berat terhadap ibunya akibat sebutir kerikil tajam menusuk tubuhnya "Anakku," kata sang ibu dengan air mata bercucuran "Tuhan tidak memberi sepasang tangan pun, sehingga tidak terdaya ibu menyelamatkan kamu." Si ibu terdiam,

"Pasti sakit sekali, aku tahu anakku terimalah itu sebagai takdir alam hidupmu, perkasakan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kukuhkan semangatmu melawan ngilu nyeri, balutlah kerikil itu dengan cecair perutmu, hanya itu yang boleh kau perbuat", Kata ibunya sayu, sendu dan lembut.

Anak tiram pun ikut nasihat ibunya, ada hasilnya, tetapi rasa sakit teramat sangat, dengan air mata ia bertahan, bertahun lamanya, tetapi tidak disedarinya sebutir mutiara terjelma, makin lama makin hilang rasa sakitnya, dan semakin lama mutiara itu membesar, rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah beberapa tahun, sebutir mutiara besar, utuh gemerlapan, deritanya berubah menjadi mutiara; air matanya menjadi sangat berharga, dirinya kini, hasil derita bertahun-tahun,lebih berharga daripada sejuta tiram lain yang disantap sebagai tiram rebus pinggir jalan.

Februari 2005 – September 2010
Kuantan, Pahang

BERCERITA SUNGAI PAHANG DAN PASIRNYA

BERCERITA SUNGAI PAHANG DAN PASIRNYA
Puisi Arisel Ba

Sungai Pahang, asalmu dari puncak Gunung Tahan mengalir berabad lama melintasi ngarai dan tebing, akhirnya melalui bukit dan lembah luas terbentang, malangnya airmu gagal menakluki pasir di tebing atau dasar sungai, setiapkali melintasinya, airnya sirna ke dalam pasir, sungai akur dengan takdir, airnya diserap pasir. Sungai Pahang mendengar bisikan pasir," Angin boleh merentasi pasir, sungai pun pasti boleh menggusur pasir sampai ke muara?",

Sungai Pahang menolak bisikan, nanti bimbang hilang jati dirinya, "Jika kau terus menakluki perbukitan dan lembah menghanyutkan pasir, airmu tetap menyerap tebingan dan kau tidak akan tiba ke muara, menjelma rawa-rawa, kau harus mengizinkan angin mendukungmu sederap menyeberangi perbukitan dan lembah, terus menuju muara!," kata Pasir.

Sungai Pahang mendiamkan diri dan mencanai akal bicara, dan kalau dirinya itu lenyap, pasti tidak kembali lagi? "Angin," kata Pasir, "menunaikan tugas itu, kamu membawa air, terbang di atas dadaku, jatuh ke bumi bagai hujan, dan menjatuhkannya lagi, pasti air itu menjadi sungai." Sungai tidak mahu dirinya diserap angin, bimbang hilang jati diri Sungai Pahang bermuara.

"Bagaimana aku boleh yakin bahawa itu benar belaka?".

"Memang benar, dan kalau kau tidak percaya, kau hanya rawa-rawa gersang hingga akhir zaman?".

"Tapi, tidakkah aku tetap sebagai Sungai Pahang, seperti kini?".

"Apapun terjadi, kau tetap bergelar Sungai Pahang," bisik pasir. " Intimu dibawa terbang, dan membentuk sungai nanti, kau dipanggil juga sungai, sebab kau pasti tidak mengetahui asalmu itu di mana intinya," dan sungai pun melonjakkan wapnya mengudara, angin setangkas mengangkat menerbangkannya, bebas merintik lembut tatkala atap gunung digapai dan kerana pernah meragukan kebenaran, Sungai Pahang mengingatkan kembali pengalamannya dan merenungkannya.

"Ya, kini aku mengenal siapa diriku sebenarnya", Sungai Pahang membijaksanakan akalnya, namun Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya saban hari; dan kami, pasir ini, terbentang di bawah lapisan tanah, jika tiada airmu, pasir pasti tidak menatap langit."

Januari 2005 – September 2010
Kuantan, Pahang